Jumat, 29 Oktober 2010

Aceh Tidak perlu Qanun Wali Nanggroe

Tarik-ulur tentang konsep Raqan Wali Nanggroe semakin membuat lembaga pemerintahan daerah Aceh menjadi tidak terukur. Dalam UUPA, pasal 96 ayat (1) dijelaskan, lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara adat lainnya. Ditegaskan juga pada ayat 2 pasal yang sama bahwa Wali Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan di Aceh. Tetapi mengapa anggota dewan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang berkedudukan di Jl. Tengku Daud Beureuh, Kota Banda Aceh bersikeras untuk mewujudkan Qanun Wali Nanggroe? tanda Tanya besar bagi kita!!!

Aceh tidak memerlukan Qanun Wali Nanggroe (QWN) karena kedudukan, fungsi dan kewenangan Wali Nanggroe akan disejajarkan sama dengan seorang Presiden. Sedangkan Aceh, kedudukan politik pemerintahannya berada di bawah Presiden RI, dan Gubernur sebagai wakilnya di daerah. Presiden RI sudah merupakan Wali Nanggroe Aceh, sekaligus wali untuk provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Tetapi jika menempatkan lembaga Wali Nanggroe setara dengan kedudukan Kepala Negara RI, maka qanun tersebut akan berpotensi menimbulkan konflik. Apalagi tugas pokok Wali Nanggroe yang diwacanakan, dapat memecat Gubernur, Pangdam, Kapolda, Ketua DPRA dan Kajati jika bertentangan dengan UU Pemerintahan Aceh. Hal ini sudah bertentangan dengan UUD’45.

Apabila Qanun Wali Nanggroe jadi diberlakukan di Aceh, bukan tidak mungkin Qanun Wali Nanggroe tersebut akan digunakan sebagai alat, oleh kelompok yang tidak bertanggungjawab untuk menjadikan Aceh seperti Negara di dalam Negara. Karena arti dari Nanggroe itu sendiri adalah “Negara”. Hal ini tentunya dapat berdampak buruk terhadap kondisi perdamaian di Aceh yang saat ini sudah kondusif. Diharapkan semua kalangan di Aceh, termasuk para anggota Dewan, dapat berfikir bijak, arif dan bijaksana dalam mengambil keputusan sehingga tidak lagi memunculkan hal-hal yang dapat mengganggu perdamaian di Aceh.

Masyarakat Bijak…. Segera Bertindak…….

Qanun Wali Nanggroe Mari Kita Tolak…….

Rabu, 13 Oktober 2010

Mau dibawa Kemana Aceh ke depan!

Masih terlalu dini untuk menentukan siapa Gubernur Aceh tahun 2011?. Namun tidak ada salahnya kalau masyarakat mulai dari sekarang dapat membayangkan dengan daya hayal (imajinasi) calon pemimpinnya. Aceh memang “bumi” syariah namun kepemimpinan politik Aceh sudah lama meninggalkan garis ideologi syariah/Islam. Jika awalnya kiblat politik Aceh mengarah dan mengacu kepada negera-negara Islam, maka sudah sangat lama kiblat politik itu berubah. Atau bisa dikatakan dengan istilah “Dari Serambi Mekkah menjadi Serambi Eropa atau Serambi Barat.”

Elit-elit politik menjelang Pemilukada 2011 telah sibuk dengan berbagai cara melakukan pencitraan untuk mencari dukungan masyarakat demi mendapatkan kursi nomor satu di pemerintahan. Saling menjatuhkan lawan politiknya baik secara langsung maupun tidak langsun yang dilakukan melalui media maupun dengan cara intimidasi terhadap masyarakat. Hal ini tentunya bisa berdampak buruk terhadap mental dan psikologi masyarakat yang masih dalam recovery pasca konflik yang berkepanjangan.

Seorang pemimpin yang baik tidak akan berkhianat dalam menjalankan amanah rakyat yang telah memberikannya jabatan. kita berharap pemimpin Aceh nanti bukanlah mereka yang meminta dipilih, mengejar jabatan serta tergila-gila kepadanya. Kita paham bahwa jabatan dalam Islam adalah sesuatu amanah yang sangat berat, bukan posisi yang harus dikejar apalagi jika harus mengemis kepada rakyat atau memaksa agar memberikannya jabatan.

Oleh karena itu saatnya kita menentukan pilihan kita. Baik tidaknya pemimpin Aceh dimasa depan adalah tergantung bagaimana rakyat Aceh sendiri. Mau kemana akan kita bawa Aceh ke depan adalah tergantung siapa pemimpin Aceh yang kita angkat, Kita tinggal memilih. Apakah Aceh mau dibawa kearah yang lebih baik atau malah sebaliknya. Itu adalah tugas kita sebagai masyarakat yang peduli terhadap Aceh!!!!!

Selasa, 21 September 2010

MENCARI DUKUNGAN POLITIK LEWAT BLANG PADANG


BLANG Padang alias blang luah adalah Umeung Musara (tanah wakaf) Mesjid Raya Baiturrahman yang tidak boleh diperjualbelikan atau dijadikan harta warisan dan tidak ada pihak yang dapat menggangu gugat status keberadaan hak miliknya.

dalam catatan sejarah, tanah Blangpadang yang seluas sekitar delapan hektare itu merupakan milik tentara Belanda (KNIL). Dalam Keppres yang dikeluarkan tahun 1960, disebutkan bahwa semua bangunan dan tanah yang dikuasai KNIL diserahkan ke ABRI (TNI), apalagi tanah Blangpadang sudah tercatat di Bagian Inventarisasi Kekayaan Negara dengan nomor 3101027 dan Departemen Keuangan.

Ketentuan tentang hak pakai bagi Lembaga Negara, Departemen, Lembaga Pemerintah non Departemen, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota di diatur di dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Berdasarkan ketentuan tersebut maka jelas bahwa tidak ada satu Lembaga, Institusi, Instansi, Lembaga Negara yang bisa memperoleh sertifikat hak milik atas Tanah Blang Padang seperti halnya hak milik atas tanah yang dapat dimiliki oleh pribadi. Dan kalau ada Lembaga Institusi, Instansi, Lembaga Negara, yang memiliki sertifikat hak milik atas tanah seperti halnya hak milik atas tanah yang dapat dimiliki oleh pribadi maka perbuatan Lembaga, institusi, Instansi,atau Lembaga Negara termasuk perbuatan yang melawan hukum karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996.

Oleh karena itu kita hanya bisa mengelola tanah tersebut sesuai dengan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 dan ini sudah dilaksanakan oleh Kodam Iskandar Muda (TNI) dengan penanggung jawab adalah Penglima Kodam (Pangdam) yang menjabat aktif saat itu.

Namun sampai saat ini Pemerintah Daerah Provinsi Aceh masih berkeinginan untuk mengambil alih tanah tersebut. berbagai cara terus dilakukan oleh Pemda Aceh gencar mencari dukungan dari seluruh masyarakat aceh dengan malakukan penipuan publik dimedia masa lokal, dimana setiap bupati dan walikota di seluruh provinsi aceh supaya memberikan dukungan tertulis di media masa. Selain itu adanya juga Pemerintah Daerah membuat Facebook untuk menggalang dukungan dari masyarakat Aceh.

Disisi lain ada suatu kecemasan dan ketakutan apabila tanah blang padang di kuasai oleh Pemda, ketakuatan ini muncul karena di lingkungan pemda sendiri banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang merugiakan masyarakat. bisa jadi tanah blang dialih fungsikan oleh pihak tertentu sebagai tempat bisnis demi kepentingan pribadi semata. klo itu terjadi maka itu akan menjadi mimpi buruk bagi seluruh masyarakat Aceh.
Dengan demikian janganlah tanah blang padang di jadikan sebagai ujung tombak untuk kepentingan politik kelompok tertentu demi mendapatkan citra baik dimata masyarakat menjelang Pemilu tahun 2011 mendatang.
Sadar…. Sadar… Sadar….!!!!!

Rabu, 08 September 2010

MERDEKA DALAM KEDAMAIAN RAMADHAN

DUA momentum penting bangsa Indonesia bersamaan datang bulan Ramadhan tahun ini. Peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-65 17 Agustus dan peringatan Kesepakatan Damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka 15 Agustus 2010 lalu. Proklamasi Kemerdekaan memang bagian yang sangat disyukuri demikian juga MoU Helsinki 2005 yang menjadi pijakan perdamaian di bumi persada.

MoU Helsinki dan Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan memang persoalan yang terpisah, namun sama-sama menyita perhatian dan korban. Jika MoU Helsinki lahir dari sebuah perjuangan panjang disertai musibah tsunami, perjuangan kemerdekaan juga mengorbankan jutaan patriot bangsa melawan kolonial. Yang pasti ada korban yang sia-sia dalam dua peristiwa bersejarah ini. MoU lahir dari buah pemberontakan ketidakpuasan perlakukan pemerintah Indonesia terhadap Aceh, Proklamasi juga lahir dari ketidakinginan dijajah dan diperintah bangsa lain. Bedanya, MoU buah dari tindakan melawan pemerintahan sendiri, Proklamasi buah perlawanan terhadap bangsa lain.

Mungkin siklus dua momentum penting jatuh pada bulan Ramadhan baru terulang puluhan tahun lagi. Maka, peringatan dua momentum sejarah Indonesia dalam bulan Puasa pantas mendapat perhatian penting dan serius. Saat lima tahun MoU Helsinki dan 65 Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI, masih banyak persoalan yang belum selesai. Persoalan itu telah mencuat sejak awal kemerdekaan antara lain, keadilan, kesejahteraan. Padahal cita-cita bangsa adalah mewujudkan adil dan makmur.

Dua momentum sejarah di bulan Ramadhan juga mengingatkan kita pada pengorbanan terutama hawa nafsu. Tidak mungkin perdamaian Aceh lahir jika nafsu masih menjadi panglima, demikian juga tiap mungkin kemerdekaan diraih jika tanpa persatuan dan ikatan batin karena logika bukan nafsu. Perspektif inilah yang melandasi dua perjuangan yang melelahkan itu. Aceh dilanda konflik hampir 35 tahun, sementara Indonesia dijajah Belanda juga hampir 350 tahun, suatu masa penjajahan yang sangat panjang.

Merdeka

Di hari Proklamasi ini tak adil jika masyarakat yang terus menuntut. Karena kekuatan negara ada pada rakyat. Pemerintah tak akan mampu bila rakyat tak mendukungnya. Saatnya saling introspeksi terhadap tanggungjawab masing-masing, sebagai negara dan rakyatnya. Bukankah Hubbul Wathan atau cinta tanah air adalah kewajiban rakyat terhadap negaranya? Baru ada arti kemerdekaan bagi bangsa Indonesia yang damai.