Senin, 25 Januari 2010

EMBRIO PENGKHIANAT BANGSA

"Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau" adalah lirik lagu yang tertulis dengan sempurna sebagai lagu kebangsaan yang menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia. Letusan meriam, rentetan senapan bagaikan hujan deras tidak menyurutkan seorang anak bangsa untuk menuangkan rasa nasionalisme dalam bentuk lirik lagu. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyatukan jiwa, rasa dan kekuatan demi mempertahankan kedaulatan NKRI.

Seiring dengan bergulirnya arus globalisasi dan masuknya pengaruh-pengaruh negatif yang sulit disaring, telah mengikis rasa kejuangan kebangsaan yang dulu berdiri kokoh. Lunturnya rasa kebangsaan telah melahirkan embrio-embrio penghianat bangsa. Pengkhiatan telah muncul di tanah Serambi Mekkah yang kental dengan Syariat Islam, embrio tersebut bermetamorfosis di lingkungan para pemimpin Aceh. Dengan kedok NKRI pemimpin di tanah rencong telah melakukan pengikisan kebangsaan dan mengebiri rakyat Aceh dengan kebijakan-kebijakan busuk untuk menghancurkan perdamaian dan ketenangan yang diidam-idamkan oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Pemimpin yang berkedokkan NKRI adalah pengkhianat bangsa yang harus dibumi hanguskan.

Wahai Anak Bangsa janganlah engkau mudah di pegaruhi oleh para pengkhianat bangsa”. Sudah saatnya kita satukan tekad untuk membumi hanguskan para pengkhianat, kita tunjukkan kepada seluruh rakyat Indonesia dan dunia bahwa rakyat Aceh adalah rakyat yang rukun cinta damai dan tidak mudah dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemerdekaan adalah anugerah dan amanah dari Allah SWT yang harus kita syukuri dan kita jaga sampai titik darah penghabisan.

Selasa, 19 Januari 2010

Demi Rakyat atau Politik..?..

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki potensi alam yang sangat melimpah seperti minyak bumi, gas alam, batubara, kandungan emas, tembaga dan sebagainya. Disamping itu Aceh juga terkenal dengan julukan Serambi Mekkah, karena penduduknya mayoritas hampir 95% menganut agama Islam.

Pada bulan Maret tahun 2001 Aceh telah memberlakukan hukum Syariat Islam yang didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 tentang penyelenggaraan kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam dengan ditandai dilaksanakannya uqubat cambuk.

Tidak tanggung-tanggung, mereka yang melanggar Syariat Islam langsung diadili di Mahkamah Syar’iyah dan diberi hukuman cambuk dihadapan masyarakat, terbukti pada tahun 2005 ada 41 orang yaitu 29 orang laki-laki dan 12 orang perempuan pelanggar Syariat Islam diberi hukuman cambuk setelah sebelumnya melalui proses penyelidikan polisi dan kejaksaan.

Pada tahun 2003 Aceh juga mengeluarkan peraturan yang disebut Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Qanun tersebut telah memuat semua aturan yang jelas dalam hal berbusana secara Islami termasuk sanksi yang dikenakan.

Tetapi pada kenyataannya semua aturan yang dibuat bukan untuk ditaati melainkan untuk di langgar karena sekarang ini lebih banyak kasus-kasus kejahatan yang diselesaikan secara adat. Dalam hal ini pemerintah dinilai masih belum maksimal dan terkesan main-main dalam menerapkan aturan tersebut.

Timbul pertanyaan dalam benak kita

Apakah memang hukum Syariat Islam diterapkan karena Aceh menyandang status Serambi Mekkah? Atau karena memang keinginan semua warganya? Atau sebenarnya masih ada perbedaan cara pandang masyarakat Aceh tentang implementasi hukum Syariat Islam? Atau ini semua di terapkan demi untuk kepentingan para elit politik? Atau pula untuk kepentingan kelompok tertentu?