Kamis, 10 Maret 2011

KEDAMAIAN PASCA MoU HELSINKI JANGAN MENJADI SIA-SIA

Pada 15 Agustus 2005, setelah Aceh dilanda prahara konflik bersenjata dan bencana tsunami, jutaan warga berkumpul menyambut tibanya era baru di tanah rencong. Jutaan warga menyambut suka cita, karena anak bangsa mulai membenamkan nafsu serta berupaya bangkit bersama-sama untuk membangun Aceh yang hancur akibat konflik dan bencana alam tsunami, di bawah panji-panji Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Aceh kembali ke pangkuan ibu pertiwi, NKRI" setelah putra-putra terbaik bangsa melapangkan dadanya untuk duduk satu meja, menghilangkan perbedaan dan membicarakan masa depan yang terbaik bagi Aceh dan Nusantara ini di Helsinki, Finlandia. Peristiwa bersejarah itu tanpa terasa telah enam tahun berjalan. Aceh sedang bangkit, bangunan di daerah pesisir yang sebelumnya hancur dan rata dengan tanah diterjang tsunami 26 Desember 2004, kini telah berganti dengan bangunan permanen. Namun, enam tahun perdamaian pascakonflik dan bencana tsunami masih ada kekhawatiran tentang situasi Aceh akan ternoda, bila semua pihak tidak ikut menjaganya dan mematuhi hukum yang berlaku di Republik ini serta berupaya meningkatkan kesejahteraan seperti yang diharapkan masyarakat di provinsi Aceh. Kalau pembangunan perekonomian melambat, maka dikhawatirkan tingkat kriminalitas di Aceh akan sejajar dengan daerah lain dan kondisi itu tentunya dapat menodai atau mengganggu proses perdamaian di wilayah Aceh. Untuk mempercepat pertumbuhan perekonomian, Pemerintah Daerah Aceh tentu tidak hanya mengandalkan sumber pendanaan dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA) semata, namun pemerintahan di pusat harus terus mendorong sektor riil dan investasi swasta. Tapi, kenyataannya saat ini keterlibatan swasta hanya sebatas MoU, sedangkan realisasi dan implementasinya di lapangan masih sangat kecil. Belum lagi tata pemerintahan duet IrwandiYusuf-Muhammad Nazar (Gubernur/Wakil Gubernur) juga tidak fokus, sehingga berpengaruh pada lambannya pertumbuhan perekonomian di provinsi ujung paling Barat Indonesia tersebut. Ingat, perdamaian yang ada hanya sebagai ‘pintu masuk' untuk mengelola pembangunan Aceh tanpa konflik. Tingkat kemiskinan di Aceh saat ini tidak mengalami penurunan, seperti diharapkan dalam beberapa tahun terakhir. Kehidupan politik di Aceh diwarnai dengan gugatan sebagian warga mengenai kinerja wakil rakyat yang dinilai lamban. DPRA juga dianggap belum maksimal dalam melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Pemerintah Aceh, sehingga pembangunan dilaksanakan belum mengarah ke arah yang lebih baik. Bahkan LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh pernah menilai kinerja anggota DPRA periode 2009-2014 gagal karena tidak mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Menurut GeRAK, sinergi antara legislatif dan eksekutif Pemerintah Aceh belum sejalan, ada kesan kedua lembaga ini berjalan sendiri-sendiri. Kita semua tentu berharap, Pemerintah Aceh segera dan terus menerus mengevaluasi kebijakannya agar ke depan lebih fokus dan baik bagi kepentingan percepatan kemajuan Aceh, sehingga apa yang telah dihasilkan MoU Helsinki tidak menjadi sia-sia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar