Jumat, 04 Februari 2011

MENUJU PEMILUKADA ACEH YANG SPORTIF, BERMARTABAT, ELEGAN DAMAI DALAM BINGKAI NKRI

Beberapa bulan kedepan masyarakat Aceh akan disibukkan suatu even besar, untuk memilih para Pemimpin Tanah Rencong, Pesta Demokrasi ini untuk menentukan siapa yang akan menjadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/ Wakil Walikota. Dihadapkan pada pola dan metode bagaimana menciptakan pesta demokrasi yang aman, lancar, sportif, tanggung jawab dan sopan santun serta beretika. Bagaimana kita menciptakan Pemilihan Kepala Daerah yang terhormat dan bermartabat. Selain itu, “bagaimana menumbuhkan Pemilukada yang menang itu menjadi terhormat dan kalah memiliki martabat”.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi referensi bagi KIP dalam menyelenggarakan Pemilukada Provinsi Aceh. Sebab, selama ini kita melihat peristiwa yang terjadi di berbagai daerah, dimana pemilihan kepala daerah banyak mengalami salah pengertian, kericuhan, keributan dan bahkan mengarah kepada tindakan anarkhis disana sini. Bisa saja hal itu terjadi antar sesama tim sukses maupun para pendukung.

Mengapa hal demikian bisa terjadi? Bisakah kita merajut komitmen, dalam pesta demokrasi yang secara bersama-sama menciptakan pemilukada yang bermartabat? Inilah yang menarik bagi Penulis untuk mengekplorasi, bagaimana menciptakan Pemilukada yang sportif dan bermartabat di mata publik. Menurut penulis ada 3 hal yang perlu menjadi perhatian, ketika Pemilukada berlangsung, yaitu para calon kepala daerah kabupaten/kota, yang kedua Penyelenggara Pemilukada, dalam hal ini Komisi Indevenden Pemilihan Aceh dan terakhir adalah Pemilih (Voter). Ditingkat lapangan, kerapkali kita menemukan permasalahan mengenai Daftar Pemilih, yang banyak mengalami “bias”. Ada Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan ada lagi Daftar Pemilih Tetap atau lebih dikenal dengan DPT. Daftar Pemilih Sementara (DPS) merupakan aspek kritikal yang banyak menjadi sorotan. Karena ia merupakan awal berlangsungnya Pemilukada yang baik. Sebab ketika Komisi Independen Pemilihan/KIP (KPU) telah memiki DPT yang tepat dan akurat, maka data tersebut akan menjadi perolehan suara yang benar. Namun demikian, jika hal itu keliru atau mengalami ketidakbenaran, maka akan berdampak negatif terhadap perolehan jumlah suara. Kondisi inilah, yang akan memicu terjadinya konflik. Masih dalam ingatan kita tentang kasus Pemilihan Gubernur Jawa Timur yang bermasalah tentang Daftar Pemilih Tetap, demikian juga dengan penggelembungan suara yang terjadi pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan kurang akurat, yang berujung dibawa ke ranah Hukum. Catatan Konflik dalam Pemilihan Kepala Daerah, kita dapat mencermati data Pemilukada antara tahun 2005 s.d. 2008. Hampir semua tahapan sarat dengan permasalahan, mulai dari tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Dari 486 Pemilukada yang digelar, hampir separuhnya bermasalah (Kesbanglinmas, 2008). Sebanyak 22 Pemilihan Gubernur, 14 diantaranya diajukan ke Mahkamah Agung (MA). Selanjutnya 364 Pemilihan Bupati , sebanyak 163 diselesaikan di pengadilan. Demikian pula 90 Pemilihan Walikota, sebanyak 33 dibawa pengadilan.

Konflik yang sering muncul terjadi antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Konflik muncul, karena dipicu perebutan kewenangan terkait pembentukan Panitia Pengawas Pilkada. Banyak persoalan yang muncul kini penyelesaiannya masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Aspek lain yang menjadi persoalan adalah anggaran Pemilukada.. Bagaimanakah Pemilukada yang sportif dan bermartabat itu?

Pertama, menurut Penulis, Pemilihan Umum Kepala Daerah akan bisa bermartabat, ketika setiap pasangan memiliki kesadaran bahwa demokrasi yang dihadapi ditempatkan pada orientasi untuk mengangkat martabat Masyarakat Aceh, bukan untuk memperkaya diri bagi pejabat atau kelompoknya ketika kelak dinyatakan terpilih. Sebab seseorang yang telah dilantik menjadi kepala daerah, maka yang bersangkutan dinyatakan sah secara hukum. Kemudian secara de facto memiliki kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab. Melalui kekuasaan, yang bersangkutan akan menjalankan tugas dan didalam tugas tersebut, ia akan memiliki wewenang untuk mendayagunakan, mengembangkan, mengatur dan mengelola rakyat, melalui birokrasi pemerintahan. Dalam tataran konsep Birokrasi Pemerintahan, maka Kepala Daerah memiliki wewenang untuk menempatkan Birokrat untuk memimpin Satuan Kerja sebuah organisasi. Itu hal yang pertama dan mesti dipahami oleh semua calon peserta Pemilukada.

Kedua, adanya komitmen yang dibangun antar sesama Calon Kepala Daerah atau Kontestan dalam Pemilukada, yang diwujudkan dalam “kontrak politik”. Didalam kontrak itu, kita wajib menjunjung tinggi etika, sesuai aturan yang berlaku dan rule of game and rule of reason, yang ditetapkan KIP. Serahkan sepenuhnya kepada KIP yang bertindak sebagai Manager Pemilukada dan Publik tetap melakukan kontrol. Sebaiknya, semua visi dan misi dari setiap pasangan calon, secara bersama-sama dicantumkan disetiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Agar hal demikian dibaca, diketahui dan dipahami publik.

Yang ketiga, pelaksanaan Pemilukada silahkan untuk bersaing secara sehat, sesuai dengan aturan yang berlaku dan taat azas. Tidak ada money politic dan atau serangan Fajar dan apabila hal ini terjadi dan dapat dibuktikan, maka perlu diberi sanksi hukum, kepada Kontestan yang melakukan hal tersebut. Semua Calon, harus menyatakan siap menang dan siap kalah. Secara sportif menyatakan bagi yang menang terhormat dan bagi yang kalah bermartabat. Ada baiknya, baliho yang dibuat dan ditayangkan di pinggiran jalan, dibuat secara bersama-sama dengan Kontestan lain, dimana gambar yang ada memajang para Kontestan. Hal demikian dicermati dan dilakukan agar lebih efisien dan muncul rasa saling memiliki. Sehingga dengan demikian tidak ada lagi coret mencoret banner atau tulisan yang tidak pantas dan lain-lain. Semua pendukung saling hormat menghormati, saling menjaga, saling megamankan dan lain lain.

Sebab apa yang dilakukan adalah untuk sistem penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan akuntabel menuju Good Governance. Penerapan prinsip-prinsip Good Governance dalam tata kelola pemerintahan telah menjadi tuntutan. Oleh karena itu, sikap keterbukaan dan fleksibel dalam sistem pengelolaan pemerintahan perlu dimiliki, ditengah tumbuhnya sikap kritis masyarakat. Pelayanan publik saat ini patut menjadi perhatian. Siapapun yang menang dalam Pemilukada ini tentu bermuara untuk kepentingan publik. Dalam melakukan kampanye perlu dijaga etika politik, dengan tidak menjelek- jelekan pasangan calon atau lawan politik. Sebab, bagaimanapun juga, mereka juga adalah teman, sahabat, saudara, sebangsa dan se tanah air. Mari kita berpolitik secara santun, sopan, bijak dan cerdas. Demikian yang bisa Penulis sampaikan, mudah-mudahan informasi yang dipublkikasikan ini dapat memberi pencerahan, tambahan wawasan guna para Kontestan, Organisasi Penyelenggara Pemilukada Aceh 2011 publik dan Pembaca setia.

Penulis sangat berharap kepada seluruh elemen Masyarakat Aceh, Tokoh agama, Tokoh masyarakat, Tokoh Pemuda, para Cendikia dan elit Politik serta para calon peserta Pemilukada Aceh 2011 “ Mari kita jaga kedamaian dan keamanan serta kita jalin kesatuan dan Persatuan Bangsa guna membangun Provinsi Aceh menuju masyarakat yang sejahtera, damai, aman dan bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar