Selasa, 01 Februari 2011

Selamatkan Aceh Dari Wali Nanggroe

Jangan Wariskan Air Mata Darah

Dipagi hari yang cerah itu, Lapangan Blang Padang begitu ramai dengan suasana yang hangat penuh kekeluargaan, Nampak dari kejauhan satu keluarga penuh canda dengan gembiranya sambil menikmati minuman ringan melepas dahaga setelah berolahraga mengitari Lapangan Blang Padang. Begitu indah dan sejuk suasana yang kami rasakan, jauh dari segala hiruk pikuk kekhawatiran dan rasa takut yang mencekam sebagaimana yang kita alami pada masa konflik beberapa tahun kebelakang. Yang begitu menakutkan dan mengerikan. Tak jauh dari tempat kami istirahat, terlihat teman – teman lain sedang asyik meneguk secangkir kopi hangat, dengan sesekali terdengar suara mereka tertawa dan suatu ketika mereka terdiam. Saya berusaha menghampiri apa gerangan yang sedang teman – teman obrolkan, benar saja ternyata mereka semua sedang khawatir tentang Keberadaan Wali Nanggroe.

Saya begitu terkesimak dengan apa yang dicarakan, karena begitu hangat dan berapi – api dan saling memberikan pendapat dan argumen. Mungkin orang – orang yang berada disekitar lapangan Blang Padang mengira bahwa kami adalah anggota Dewan yang terhormat. Ada satu teman yang berperawakan kecil tapi agak gempal dia seorang karyawan biasa yang tidak berpolitik, dengan semangat mengatakan “ Siapa itu Wali Nanggroe pasti ini akal – akalan kelompok tertentu yang ingin menjadi raja turun menurun” , dan bahkan ada teman lain yang lebih keras menurut saya, memang dia adalah seorang pedagang kecil tapi senang mengikuti perkembangan politik di Aceh, dia mengatakan Selamatkan Aceh dari Wali Nanggroe dan Jangan Wariskan Air Mata Darah.

Saya terkesima dan diam seribu bahasa, karena begitu dalam ungkapan yang dikeluarkan dari seorang masyarakat biasa, seorang pedagang yang sudah lelah dan cape menyaksikan rakyat Aceh yang menderita akibat pergolakan politik. Saya sendiri baru sadar dari tidur panjang selama ini, memang benar apa yang dikatakan teman tadi, itu adalah suara hati seorang masyarakat biasa yang menilai masyarakat Acehlah yang akan menderita dari suatu pergolakan Politik, sementara mereka yang pintar akan lari meninggalkan Tanah Aceh dan kembali ke Tanah Aceh setelah situasi aman laksana seorang Raja yang ingin disambut bagaikan seorang Pahlawan dari medan pertempuran, sungguh ironi !

Kita sebagai rakyat Aceh sangat bangga akan perjuangan untuk mempertahankan jatidiri sebagai orang Aceh yang beradab dan agamis karena memang sudah dari dahulu sejak jaman kerajaan, Kota Serambi Mekkah ini tak mudah untuk dijatuhkan oleh siapapun. Tapi semua itu tinggal kenangan yang dapat kita banggakan sebagai motivasi untuk melanjutkan perjuangan. Hal yang paling patut kita syukuri adalah dengan diadakannya perjanjian damai pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, antara Pemerintah Indonesia dengan Gam, untuk mengakhiri konflik panjang selama 29 tahun itu. Aceh tetap menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam perjanjian Helsinki inilah terdapat satu butir kalimat tentang Wali Nanggroe.

Butir 1.1.7 Dalam perjanjian Helsinki ini melahirkan Bab XII psl 96 ayat 1 dan 2 dalam UUPA. Dalam pasal itu berbunyi bahwa Wali Nanggroe merupakan Kepemimpinan Adat sebagai Pemersatu masyarakat yang Independen, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga – lembaga adat istiadat, pemberi gelar / derajat dan Upacara – Upacara lainnya.

Jadi inilah yang harus menjadi pedoman dan diketahui oleh seluruh elemen masyarakat Aceh. Jadi keberadaan Wali Nanggroe bukanlah lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh. Sangat kita sesalkan dengan Pemberitaan – pemberitaan yang ada selama ini dan bahkan selalu dibesarkan – besarkan oleh kelompok tertentu, karena memang ada kepentingan dibalik itu semua. Ingat perjanjian seorang kesatria harus dipegang, karena itu adalah atas nama masyarakat Aceh, kota Provinsi dengan gelar Serambi Mekkah. Jangan kita Khianati perjanjian diHelsinki itu karena masyarakat Aceh tidak rela menerima Azab Allah SWT yang ke dua kalinya.

Sebagai bahan ingatan kepada kita semua, yang peduli akan kedamaian Aceh, penulis akan uraikan beberapa bagian dari isi Pasal 5 tentang Kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yaitu ;

1. Lembaga Wali Nanggroe sebagai lembaga tertinggi dalam system kehidupan masyarakat dan nanggroe/adapt/peradaban di Aceh.

2. Sebagai lembaga tertinggi yang dimaksud dalam ayat 1 lembaga Wali Nanggroe mempunyai kewenangan antara lain :

a. Memberikan gelar kehormatan kepada seseorang dan memberi perlindungan hukum kepada rakyat dan teritorial Aceh.

b. Menjalankan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh.

c. Menyelesaikan sengketa Aceh baik yang ada di Aceh maupun yang berada diluar Aceh.

d. Menguasai semuah asset ( kekayaan ) Aceh di dalam dan luar Aceh.

e. Menandatangani kontrak business atau kerja sama dengan pihak Luar Negeri.

f. Meresmikan pembukaan Konsulat Aceh / Perwakilan di Luar Negeri.

Diatas adalah beberapa bagian isi dari Pasal 5 tentang kewenangan Wali Nanggroe, sungguh hebat dan Luar biasa kekuasaan dan kewenangan seorang Wali Nanggroe yang sejajar dengan keberadaan sorang Presiden Republik Indonesia, kalau saya boleh mengutif judul tulisan Bang Bustami pada Harian Aceh yang dimuat pada terbitan tgl 29 Januari “ Wali Nanggroe ; Monarki dalam Republik ? inilah kenyataan yang harus kita hadapi seluruh Lapisan masyarakat Aceh untuk menentang Lembaga Wali Nanggroe, kita semua sebagian masyarakat Aceh tidak tahu dan tidak mengerti tentang Hukum Tata Negara, tetapi sebagai orang awam mengerti kalau tidak ada dalam sejarah, di suatu Negara yang berdaulat, ada dua ( 2 ) orang Pemegang kekuasaan ( Presiden ). Cukuplah peristiwa – peristiwa heroik yang lalu untuk kita kenang dan kita jadikan sebagai tonggak perjuangan untuk membangun Aceh menuju kemakmuran dan kesejateraan secara bermartabat dan berkeadilan.

Perdamaian Aceh harus kita jaga bersama jangan dinodai dengan usaha – usaha terselubung untuk mengambil alih kekuasaan secara penuh sangat berbahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar