Rabu, 26 Oktober 2011

PARTAI ACEH DAN PEMILUKADA

Kekacauan politik Aceh saat ini disebabkan oleh sikap DPRA yang anggotanya sebagian besar dari PA terus mendramatisasi masalah calon perseorangan. Ini bisa dilihat sebagai sikap terlalu mengentengkan regulasi, undang-undang konstitusi dan tak menganggap serius kecuali hanya hasrat pada kekuasaan.

Apakah keputusan MK itu inkonstitusional? Tentu tidak. Keputusan itu diambil oleh para hakim konstitusi terbaik di negeri ini melalui pertimbangan hukum mendalam dan dengan semangat sebagai penjaga konstitusi bangsa. Semua keputusan hukum memiliki konsekuensi persetujuan atau penolakan. Namun ketika keputusan telah ada, telah menjadi positif, ia mengikat dan final untuk semua, kecuali keputusan itu dibatalkan. Fraksi PA yang paling keras menolaknya ternyata tidak melakukan apa-apa untuk menggugat keputusan yang sudah berumur hampir setahun itu. DPRA baru menggugat MK setelah KIP tetap menjalankan proses pendaftaran peserta Pemilukada hingga ditutup pada 7 Oktober 2011.

Sikap tanpa kompromi DPRA (dan tidak merepresentasi semua karena Demokrat dan PPP tetap mendaftarkan kandidatnya, Muhammad Nazar-Nova Iriansyah) sebenarnya bukan sikap kenegaraan yang benar. Termasuk sikap ketua DPRA yang mengancam tidak akan mengikuti proses dengar pendapat calon gubernur-wakil gubernur dan melantik gubernur terpilih.

Perlu diingat, seorang pejabat negara harus mematuhi kode-kode pemerintahan dan mengalahkan egoisme pribadinya. Ketika mengemban jabatan publik maka kepentingan publik harus dikedepankan dan bukan curhatan pribadi lagi. Apabila tak sanggup mengemban peran publik, pilihan tinggal satu: mundur. Itu yang dilakukan oleh Dicky Chandra, Wakil Bupati Garut dan para pemimpin di Jepang. Sikap seperti itu lebih kesatria dibandingkan terus merongrong pemerintahan dari dalam.

Ruang politik harus menjadi ruang perpindahan negosiasi dan kompromi secara rasional dan tanpa kekerasan. Proses itu harus berhenti saat konsensus, karena setiap hal memerlukan putusan. Perdebatan wacana calon independen sangat bisa terus berkepanjangan tetapi harus berhenti ketika menjadi kebijakan. Sikap terbaik yang diajarkan dalam demokrasi, “sepakat dalam ketidaksepakatan” bisa diambil. Apa yang sudah terjadi tidak bisa berlaku surut, dan menjadi pelajaran untuk tidak lalai lagi dikemudian hari.

Saat ini semua pihak harus komitmen menjamin Pemilukada Aceh berjalan damai, transparan, jujur, dan tanpa rekayasa. Lupakan perbedaan karena hanya menumpuk kemarahan permanen dan mengecilkan jiwa. Jadilah seorang negarawan dengan memberi contoh terbaik kepada rakyat!

Karena sikap PA yang merugikan ini. Terbukti beberapa anggota PA menyatakan keluar setelah mereka tidak mendapatkan peluang untuk berpartisipasi dalam Pemilukada. Ini bentuk ketidaksadaran politik yang harus diinsyafi sebelum semakin buruk.

Beredar kabar bahwa tidak ikutnya PA mendaftar pada Pemilukada karena faktor administrasi dari pasangan calon gubernur dan wakil gubernur tidak memenuhi persyaratan KIP Aceh. Makanya ketua PA menyatakan menarik diri dari proses Pemilukada Aceh 2011.

Sukseskan Pemilukada Aceh dengan tetap menjaga kedamaian dan saling menghargai dengan tetap mengedepankan persatuan sehingga tercipta suasana yang damai, aman dan melahirkan pemimpin yang memihak pada kepentingan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar