Rabu, 13 Juli 2011

EGOIESME MEMBAWA ACEH MENUJU AMBANG KEHANCURAN

Ketua LSM Damai Aceh Takengon menyatakan bahwa PESTA DEMOKRASI RAKYAT ACEH untuk memilih para pemimpin didaerah baik ditingkat propinsi maupun kabupaten kota semakin dekat, telah banyak para tokoh yang sudah melaporkan diri ke kantor KIP baik ditingkat propinsi maupun ditingkat kabupaten/kota akan maju sebagai balon kepala daerah walaupun pendaftaran balon baru akan dimulai 30 Juli sampai dengan 19 Agustus 2011 mendatang. Namun nampaknya pemilukada mendatang masih ada persoalan yang masih belum terselesaikan, terutama menyangkut calon perseorangan atau calon Independen yang hingga kini masih menjadi perdebatan sengit dikalangan tokoh politik, dimana masing-masing mempertahankan pendiriannya. Disatu pihak menolak independen dengan diperkuat dari hasil sidang paripurna DPRA yang telah memenangkan Voting.

MK menilai Pasal 256 UU 11/2006 (UUPA) telah menghilangkan makna demokrasi yang sesungguhnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Pasal 256 UU 11/2006 tersebut tidak memberikan peluang untuk calon perseorangan dalam Pemilukada di Provinsi Aceh setelah tahun 2006, sehingga dengan sendirinya akan menghambat dan merugikan hak konstitusional bagi warga negara yang tidak mempunyai kendaraan politik atau yang tidak diusulkan oleh partai politik (independen).

Padahal, MK telah mengakui adanya calon independen melalui Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007. Putusan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang melalui perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008). Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Untuk Apa Partai Aceh Menolak?

Dari sisi hukum dan konstitusi, patut dipertanyakan mengapa KPA/ Partai Aceh ‘berani’ melawan putusan MK. Banyak kalangan dengan tegas menyatakan bahwa tindakan KPA/Partai Aceh adalah inkonstitusional, karena bagaimana pun juga Aceh masih merupakan bagian dari NKRI. Sebaliknya KPA/Partai Aceh dengan bangganya mengancam akan mengerahkan massa secara besar-besaran untuk menekan Gubernur agar menandatangani rancangan qanun Aceh tentang Pemilukada yang telah disahkan oleh DPRA tanggal 28 Juni 2011 dengan tidak memasukan klausul colon perseorangan/independen. Apakah hal tersebut sudah diperhitungkan masak-masak apa dampaknya bila massa tidak mampu dikendalikan hingga membuat anarkis, apa lagi bila meningkat menjadi konflik yang dapat menggagalkan MoU Perdamaian, siapa yang mengalami kerugian. Padahal siapa pun tahu bahwa putusan MK sudah bersifat final dan mengikat, sehingga secara yuridis formal sebenarnya Partai Aceh sudah tidak memiliki alasan lagi untuk terus melawan.

Terlebih lagi, apakah KPA/PA sudah mengkaji dengan mendalam manfaat pengerahan massa secara besar-besaran, selain hanya sebagai show of force’ yang tidak bermakna? KPA/PA nampaknya sudah lupa (atau bahkan meremehkan) masyarakat yang sudah semakin dewasa dalam berpolitik dan menyikapi situasi politik. Sesungguhnya, perdamaian yang telah berjalan beberapa tahun belakangan ini telah menjadi katalis semakin matangnya cara pandang masyarakat Aceh mengenai masa depan Aceh. Mentalitas konflik sudah bergeser ke cara pandang demokratis yang mengedepankan dialog, adu visi dan misi, dan mengedepankan kompetensi ketimbang adu otot semata. Masyarakat sudah semakin cerdas menilai, unjuk rasa ini untuk apa? Untuk kepentingan rakyat atau kepentingan segelintir orang?

Jikalau dari landasan ideologis saja sudah mengalami kendala mendasar, bisa dipastikan pada tataran teknis juga akan kesulitan. Dari mana Partai Aceh akan mendapat massa yang jumlahnya ribuan? Rakyat mana yang akan diwakili? Jangan lupa, kelompok mahasiswa sebagai ‘kompor’ unjuk rasa demokrasi dari jauh-jauh hari sudah mendesak disahkannya qanun yang mengakomodir calon independen, sehingga sangat sulit bagi KPA/PA untuk mendulang dukungan dari mereka. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan seperti siapa koordinatornya? Siapa yang bertanggung jawab? Berapa dana yang dikeluarkan? Sanggup berapa lama?

Mampukah KPA/PA memastikan setiap peserta unjuk rasa memahami dan setuju tentang apa yang diteriakkan lewat pengeras suara? Harusnya Partai Aceh sadar, unjuk rasa saat ini sudah menjadi ‘lahan pekerjaan’ apalagi untuk rakyat yang masih kekurangan, sehingga mereka hanya bisa berteriak tanpa tahu substansi. Artinya, semuanya hanya akan berkutat di kulit saja, tidak mampu menembus ke dalam inti permasalahan.

Meskipun demikian KPA/PA nampaknya sudah bertekad bulat untuk menolak adanya calon independen seperti yang dikutip media harian Aceh edisi Sabtu 26 Maret 2011, bahwa salah satu dari internal partai aceh menyatakan bahwa “Keputusan KPA/PA untuk menolak kehadiran calon independen di pemilukada aceh 2011 sudah final dan ditegaskan bahwa penolakan tersebut adalah instruksi langsung dari Malek Mahmud kata dia. Dari sisi politik, dapat diraba bahwa “kenekatan” ini tak lain merupakan upaya mati-matian KPA/PA untuk menghadang majunya calon independen ‘kenekatan’ ini juga dimaksudkan agar suara Partai Aceh tidak terpecah, sehingga kebijakan partai mempengaruhi keputusan DPRA khususnya Pansus Pemilukada yang dikuasai mayoritas anggota dari KPA/PA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar