Jumat, 29 April 2011

Ancaman Gizi Buruk Sudah Mengerikan Di Aceh

Kasus gizi buruk yang sering ditutup-tutupi di Provinsi Syariat Islam ini, akhirnya terbuka. Mengutip pemberitaan media lokal Ternyata, kini lebih dari 200 ribu balita di Aceh menghadapi masalah gizi buruk. Sebagian besar di antaranya sudah sampai pada tahap yang semakin mengkhawatirkan. Artinya, jika tidak segera ditanggulangi, maka akan banyak balita di Aceh yang tumbuh bodoh dan merupakan ancaman loss generasi di masa datang. “Untuk itu, Pemerintah Aceh, DPRA dan Pemerintah Kabupaten/Kota bersama DPRK-nya perlu memberi perhatian serius terhadap balita di Aceh yang telah mengalami gizi buruk stunting,” kata ahli gizi Prof Dr Ascobat Gani MPH.

Ada tiga kategori gizi buruk. Yakni, katagori stunting (fisik penderita pendek dan kurus), wasting (penderitanya kurus), dan ketiga berat badannya rendah. Di Aceh, paling banyak berstatus stunting mencapai 208.823 orang (44,6 persen) atau berada di atas rata-rata nasional (36,8 persen). Sedangkan yang berstatus wasting 85.683 orang (13,8 persen) dan berat badan rendah 124.076 orang (26,5 persen). “Balita yang masuk dalam gizi buruk stunting itu, pertama disebabkan ibunya pada waktu mengandung kurang gizi, kedua kurang pemberian asi, dan ketiga kurangnya makanan tambahan.”

Kalangan ahli kesehatan masyarakat mengatakan, gizi buruk (malnutrisi) adalah masalah kesehatan yang penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Akan tetapi, merupakan tanggung jawab kita bersama.

Kita perlu tahu bahwa masalah gizi buruk bukanlah terjadi secara tiba-tiba atau mendadak. Ia merupakan suatu manifestasi prilaku gizi yang disebabkan secara langsung oleh ketidakcukupan asupan makanan. Kemudian, karena pengetahun masyarakat tentang bagaimana mendeteksi dini anak-anak yang mulai bermasalah gizinya, maka masyarakat harus diberi pengetahuan tentang tanda-tanda klinis yang menggambarkan keadaan gizi buruk pada balita. Misalnya, anak sangat kurus dan lemah, wajah seperti orang tua/bulat dan sembab, cengeng dan rewel (sering menangis), serta lainnya. Dengan mengetahui tanda-tanda klinis itu, maka diharapkan masyarakat sudah tahu harus segera berbuat apa dan kemana untuk memperoleh pertolongan dalam upaya menanggulangi masalah gizi tersebut.

Lalu, malnutrisi juga bisa disebabkan oleh masalah yang tak bersentuhan langsung dengan gizi. Misalnya, faktor ketersediaan pangan dan gizi yang kurang, faktor perawatan dan pola asuh anak yang salah, faktor pelayanan kesehatan yang di kalangan masyarakat bawah dianggap barang yang mewah, mahal dan terbatas, faktor prilaku dan budaya masyarakat dalam pengolahan, serta faktor lingkungan yang buruk yang tidak mendukung kesehatan anak balita.

Tapi, kehadiran JKA dalam dua tahun terakhir hendaknya telah dapat mengatasi persoalan utama terkait dengan gizi buruk, yakni pelayanan kesehatan.
Namun demikian, pada akhirnya, tetap saja diperlukan kesadaran kita untuk merasa bahwa upaya perbaikan gizi adalah tanggung jawab bersama serta pemerintah daerah dalam memantau kondisi masyarakatnya. Ditengah kehidupan yang mewah

para elit pejabat Aceh, masih ada kondisi masyarakat yang sangat memilukan yaitu kondisi gizi buruk.

Kondisi ini menunjukkan bahwa elit pejabat Aceh belum serius dalam memantau kehidupan masyarakatnya,dan belum mendengarkan aspirasi rakyatnya. Namun para pejabat saling sibuk bagaimana caranya terus berkuasa, ini jelas menunjukkan matinya hati nurani. Apakah hal ini akan terus dilanggengkan ..?. Marilah kita rakyat Aceh kedepan memilih pemimpin yang bisa mengemban amanah dan peduli dalam memajukan kehidupan masyarakatnya, dan bukan sebaliknya membuat kesenjangan yang memprihatinkan. Sambut Pemilukada Aceh 2011 dengan memilih pemimpin yang bisa mendengarkan aspirasi rakyatnya dan mempunyai hati nurani terhadap sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar