Kamis, 16 Juni 2011

JAGALAH PERDAMAIAN MENJELANG PEMILUKADA ACEH 2011

Tanpa terasa usia perdamaian yang dibangun di bumi Aceh telah memasuki tahun ke tujuh. Perdamaian Aceh yang berlangsung sejak penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, telah membawa perubahan drastis terhadap suasana di provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia itu. Setelah Pemerintah RI dan kelompok GAM sepakat untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan secara beradab, sejak saat itu pula nuansa perang dan konflik di Aceh, berganti dengan nuansa perdamaian, rekonsiliasi dan reintegrasi.

Perubahan suasana tersebut, juga telah membawa perubahan pada tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik. Walaupun tentu saja belum sepenuhnya menyentuh seluruh lapisan masyarakat Aceh. Demikian pula dengan usia pemerintahan di Aceh baik provinsi maupun sejumlah kabupaten/kota yang terpilih dalam Pemilukada 2006 lalu, tanpa terasa telah berada di ambang akhir masa tugasnya. Masih hangat dalam ingatan kita hingar bingar Pemilukada yang untuk pertama kali diselenggarakan dalam suasana damai di Aceh.

Perubahan yang terjadi di Aceh tersebut, baik secara politik, sosial, ekonomi, dan keamanan, patut disyukuri oleh semua pihak yang ada, mengingat suasana kondusif yang telah berjalan baik, diharapkan akan menjadi modal dasar bagi pemerintahan dan masyarakat Aceh untuk menata kembali tata kehidupan, yang sempat kacau selama konflik. Hanya dengan suasana yang kondusif, Aceh akan mampu memperbaiki diri dari keterpurukan sosial, baik karena konflik yang berkepanjangan maupun sebagai dampak dari bencana gempa dan tsunami.

Namun demikian harus diakui, tidak sedikit pihak yang menyangsikan apakah kondisi damai di Aceh dapat dipertahankan dalam waktu yang lama. Sejalan dengan dinamika yang terjadi, terdapat sejumlah ganjalan dan potensi yang dikhawatirkan dapat menjadi penyulut munculnya gangguan keamanan sehingga dapat membawa Aceh kembali seperti ke masa lalu.

Sebagai gambaran adalah momentum Pemilukada Aceh 2011, selain memiliki nilai strategis dalam menjaga kesinambungan jalannya pemerintahan di Aceh, di sisi lain bila tidak dianstisipasi juga memiliki ekses negatif berupa pergesekan antar pendukung hingga dapat memicu adanya gangguan keamanan di Aceh.

Meskipun belum ada kejelasan perihal pelaksanaan Pemilukada di Aceh, menyusul belum putusnya DPRA dalam mempersiapkan qanun Pemilukada, namun nama-nama bakal calon kepala daerah sudah mulai bermunculan. Tidak sedikit dari mereka juga telah melakukan manuver politik untuk mendapatkan simpati dan dukungan masyarakat Aceh untuk kepentingan pemilihan mendatang.

Sementara itu konflik di internal eks GAM yang juga tidak terlepas dari penentuan bakal calon yang akan maju dalam Pilkada Aceh 2011, dengan munculnya kelompok pro Irwandi Yusuf dan kelompok pasangan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, diperkirakan akan menimbulkan potensi kerawanan tersendiri.

Semakin dekatnya waktu pelaksanaan Pilkada Aceh, dipastikan suhu politik lokal di Aceh juga akan semakin meningkat, diiringi dengan memanasnya persaingan politik di antara para kontestan dan pendukungnya.

Belajar dari pengalaman dalam penyelenggaraan Pilkada Aceh 2006 dan Pemilu Legislatif 2009 lalu, di mana sempat suasana aman di Aceh terusik dengan berbagai aksi teror dan kekerasan, yang tidak sedikit pula menimbulkan korban, maka akan menjadi tanggung jawab semua pihak agar hal tersebut tidak terulang kembali. Ditambah dengan dugaan masih banyaknya senjata api illegal di masyarakat, maka akan menjadi pekerjaan rumah bagi aparat Kepolisian di Aceh sebagai komponen terdepan dalam pengayoman masyarakat, untuk dapat menciptakan suasana kondusif bagi pelaksanaan Pemilukada.

Sekali lagi, momentum Pemilukada Aceh 2011 semestinya dijadikan kesempatan yang baik bagi seluruh elemen di Aceh, untuk membuktikan sikap kedewasaan dan kecerdasannya dalam berpolitik dan berdemokrasi. Mampu berkompetisi dengan cara-cara fair dan elegan sebagai sesama pelaku politik lokal, sekaligus memiliki cukup kecerdasan dan tidak mudah terjebak dalam egoisme politik yang justru dapat mengusik jalannya perdamaian yang telah terbentuk di Aceh. Bila semua pihak yang ada di Aceh menghendaki berlanjutnya perdamaian, sudah sepatutnya mereka mengeapresiasi suasana damai yang telah tercipta, dengan semangat yang jauh dari nuansa memancing kembalinya konflik. Kedamaian modal dasar untuk menuju masyarakat Aceh yang sejahtera dalam membangun Aceh lebih maju. Sukseskan Pemilukada Aceh yang damai dan tanpa adanya kekerasan serta intimidasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar