Jumat, 24 Juni 2011

KONTROVERSI DPRA MENOLAK KEPUTUSAN MK DAN MEMBUBARKAN KIP

Kesimpang siuran penyelenggaraan Pemelikada Aceh 2011 semakin menghawatirkan, pada hari senin tgl 20 Juni 2011 melalui pertemuan yang tak lazim antara Komisi A DPRA dengan tujuh Komisi A DPRK dari wilayah utara-timur Aceh berlangsung tertutup dan diam-diam di Gedung Serbaguna DPRA.

Dalam rapat tersebut yang dipimpin oleh ketua Komisi A Adnan Beuransya dari Partai Aceh menghasilkan tiga keputusan yang kotroversial dan menghawatirkan bagi pelaksanaan Pemilukada Aceh 2011 dan perdamaian Aceh yang sudah mulai berjalan.

Adapun ketiga putusan yang dihasilkan adalah, pihak eksekutif diminta menunda penyaluran dana pilkada ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) kabupaten/kota di Aceh sampai Raqan Pilkada disahkan menjadi qanun pada 28 Juni 2011.

Kedua, komisi A legislatif dari tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang hadir dalam petemuan kemarin menyatakan penolakannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan calon perseorangan (independen) maju dalam Pemilukada Aceh.

Kesepakatan ketiga, peserta pertemuan menuntut agar Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh dibubarkan, karena komisi tersebut menetapkan sepihak tahapan pelaksanaan Pilkada Aceh, tanpa berkoordinasi dengan DPRA.

Beberapa pengamat politik Sangat menyayangkan dikeluarkannya tiga kesepakatan yang kontroversial oleh komisi A DPRA dan tujuh komisi A DPRK wilayah pantai timur-utara Aceh. Ini merupakan sebuah propaganda yang dapat memicu pertumpahan darah dan pertikaianj antar kelompok di Aceh, betapa tidak dua hal yang paling mencolok adalah, penolakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan pembubaran KIP. Keputusan ini sangat jelas bersifat tendensius dan ditunggangi oleh kelompok tertentu yang sengaja membuat dan memancing kembali kekacauan di Aceh.

Latar belakang

Rapat tertutup yang tak lazim dan menghasilkan keputusan berbau propaganda jelas sebuah skenario yang harus disikapi secara cermat dan bijaksana oleh semua elemen bangsa. DPRA saat ini dikuasai oleh Partai Aceh yang secara tegas menolak keputusan MK, yang memperbolehkan majunya calon perseorangan melalui jalur independen. Secara gamblang dapat dilihat adanya dua kubu yang saling bertentangan, yaitu yang mendukung adanya calon independen dan kubu yang anti calon independen. Kelompok pertama didominasi oleh para akademisi dan LSM, sedangkan kelompok kedua dipelopori oleh GAM/KPA/PA.

Sampai saat ini pembahasan tentang calon independen masih mandek di DPRA yang dikuasai oleh Partai Aceh yang memiliki suara mayoritas. Pertanyaannya, mengapa DPRA mayoritas Partai Aceh melalui komisi A berani menantang badai dengan menolak putusan MK dan Mau mebubarkan KIP Aceh? Apakah hal tersebut sudah diperhitungkan masak-masak, apa dampaknya bagi rakyat Aceh yang sudah bahagia dan senang hidup dalam kedamaian seperti saat ini.

Sebagian besar rakyat Aceh sudah jenuh dan terauma dengan para elit politik yang berebut harta, jabatan dan kekuasaan. Kekuasaan saat ini dikendalikan oleh GAM/KPA/PA tidak membawa kemajuan bagi rakyat Aceh, keadaan yang sengaja diciptakan melalui permainan politik kotor dan tindakan teror adalah sebuah upaya untuk melanggengkan dan menguatkan pengaruh kekuasaan di masyarakat.

Arogansi Politik

Mengapa DPRA melalui komisi A menolak keputusan MK dan membubarkan KIP Aceh Padahal, MK telah mengakui adanya calon independen melalui Putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007. Putusan tersebut selanjutnya ditindaklanjuti oleh pembentuk undang-undang melalui perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 12/2008). Dengan demikian, calon perseorangan dalam Pemilukada secara hukum berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Untuk Apa DPRA yang dikuasai Partai Aceh Menolak ? Terlalu ngototnya DPRA melalui Partai Aceh untuk menolak calon independen menjadi sangat menarik untuk dianalisa dari berbagai sisi. Dari sisi hukum dan konstitusi, patut dipertanyakan mengapa DPRA (Komisi A) ‘berani’ melawan putusan MK dan mau membubarkan KIP. Banyak kalangan dengan tegas menyatakan bahwa tindakan DPRA (Komisi A) adalah inkonstitusional, karena bagaimana pun juga Aceh masih merupakan bagian dari NKRI. Padahal, siapa pun tahu bahwa putusan MK sudah bersifat final dan mengikat, sehingga secara yuridis formal sebenarnya DPRA yang dikuasai Partai Aceh sudah tidak memiliki amunisi yang memadai untuk terus melawan.

Konsekuensi Logis apapun upaya DPRA (Komisi A) yang dikuasai Partai Aceh untuk menolak putusan MK dan membubarkan KIP Aceh pada hakikatnya akan sia-sia dan merugikan rakyat. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita mejaga rasa aman dan damai menjelang Pemilukada Aceh 2011, sehingga dapat berjalan dengan lancar, Pemimpin yg bertanggung jawab, cakap berpendidikan dan berjiwa Nasionalis serta terbebas dari KKN adalah pilihan rakyat. Sebagai masyarakat Aceh penulis berpesan Waspadalah dalam situasi damai, kawan akan menjadi lawan bila damai bertahan atau damai berakhir sangat ditentukan kepada siapa dukungan suara akan diberikan, jangan mudah dan mau diprovokasi Hanya Untuk Kepentingan Kelompok Tertentu”.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar