Sabtu, 21 Mei 2011

DPRA Tidak Paham Hukum

Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) menilai anggota DPRA tidak mengerti hukum jika ingin menggugat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35/PUU-VIII/2010 tentang dicabutnya pasal 256 UUPA dan memperbolehkan calon independen kembali bisa ikut dalam Pemilukada di Aceh.

“Padahal, hukum keputusan MK sudah final dan mengikat. Hal ini cukup mencoreng muka rakyat Aceh, karena wakil rakyatnya terkesan tidak paham hirarki hukum dan perundang-undangangan yang ada. Apalagi dengan tambahan sikap DPRA yang menghentikan pembahasan Qanun Pemilukada yang dilatarbelakangi dari penolakan DPRA terhadap putusan MK tersebut. Ini terkesan kurang siapnya politisi di DPRA untuk membuka ruang demokrasi yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Aceh,” sebut Ketua Bidang Pemerintahan dan Pembangunan Partai SIRA, Muhammad Taufik Abda dalam surat yang dikirimkan kepada Ketua DPRA terkait pengesahan Qanun Pemilukada Aceh dengan tetap memasukkan substansi calon perseorangan (independen).

Dalam surat tertanggal Senin, 4 April 2011 tersebut, Taufik Abda mengatakan dengan memperhatikan MoU Helsinki antara Pemerintah RI dan GAM point 1.2.6 “partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia”. Maka keputusan Mahkamah Konstitusi RI No.35/PUU-VIII/2010 yang telah menetapkan pasal 256 UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang membatasi pemberlakuan keikutsertaan calon perseorangan dalam Pemilukada di Aceh dinyatakan tidak berlaku lagi. “Dengan demikian keikutsertaan calon perseorangan dalam Pemilukada 2011 di Aceh adalah sesuai dengan Konstitusi RI,” sebut Taufik Abda.

Taufik menegaskan, jika DPR Aceh tidak memasukkan substansi calon perseorangan dalam Qanun Pemilukada Aceh (revisi) yang sedang dibahas oleh Pansus III maka Partai SIRA menganggap telah melanggar UUD 1945 beserta MoU Helsinki point 1.2.6 . “Jika tetap dipaksakan bahwa substansi calon perseorangan tetap tidak diakomodasi dalam qanun Pemilukada nantinya, maka DPRA sudah membuka konflik hukum baru di Aceh,” ujarnya.

Menurut Taufik, hal tersebut juga akan berimplikasi pada akan adanya gugatan hukum terhadap hasil Pemilukada karena tidak membuka ruang keterlibatan calon independen, sehingga dapat dipastikan akan membatalkan hasil Pemilukada dan mengharuskan untuk dilaksanakan Pemilukada ulang. “Hal ini tentunya akan membuang secara percuma anggaran belanja negara yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan lainnya,” tambah Taufik.

Taufik juga menilai, upaya untuk memundurkan pelaksanaan Pemilukada Aceh dengan alasan belum tuntasnya polemik calon independen dipandang sebagai sikap yang mengada-ada, bahkan cenderung bernuansa politisasi tahapan demokratisasi Aceh. “Keinginan untuk memundurkan pelaksanaan Pemilukada akan berimbas pada terhambatnya langkah implementasi pembangunan dan perdamaian Aceh,” ungkapnya. Mari seluruh rakyat Aceh sukseskan Pemilukada Aceh dengan mengedepankan rasa persatuan dan kesatuan jangan sampai ada catatan hitam di serambi mekah ini.

Partai SIRA mendesak DPRA harus segera mempercepat pembahasan Qanun Pemilukada agar Pemilukada dapat dilaksanakan sesuai waktu sehingga tidak terjadi kekosongan pimpinan Aceh pasca habisnya masa jabatan kepala daerah Aceh dan 17 kabupaten/kota yang sudah akan habis masa jabatannya pada awal tahun 2012 nanti.

“Sebagai salah satu institusi negara, DPRA haruslah tunduk pada putusan hukum yang lebih tinggi. Penolakan terhadap putusan MK sebagai suatu putusan hukum di negara tidaklah layak dilakukan oleh DPRA sebagai institusi negara. Sikap DPRA ini dipandang sebagai sikap tidak tertip hukum, dan ini adalah contoh tidak baik bagi upaya penegakan hukum di Aceh. Sayangnya, ini dicontohkan oleh DPRA,” tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar